Jumat, 15 Agustus 2014

Mengapa Kimia Sains Lebih Baik?


Determine your choose !


Sebenarnya membanding-bandingkan bidang ilmu dengan tujuan mencari mana yang lebih baik adalah pekerjaan paling bodoh di atas bumi, itu pesan yang saya tangkap dari salah seorang dosen saya sewaktu kuliah S1.

Baiklah, saya abaikan dahulu pesan di atas. Mengawali tulisan ini saya akan menulis semboyan: “Chemical Science is better than Chemical Engineering”. Alasan utama adalah karena saya adalah lulusan kimia sains (Chemical Science = Ilmu Pengetahuan Tentang Kimia = Ilmu Kimia). Jika di dalam tulisan ini, ada kesan mengistimewakan kimia sains, itu adalah hak pribadi saya sebagai penulis blog. Meskipun demikian, saya akan mencoba lebih obyektif dan mungkin tidak dapat dipungkiri akan kurang adil nantinya. Bahkan seseorang yang menyandang banyak bidang keahlian ilmu kimia sekaligus (teknik, sains, pendidikan), akan sangat sulit baginya untuk bisa adil menghakimi. Soalnya persoalannya kompleks dan sangat sulit untuk melakukan generalisasi. Selamat mencoba memilah dan memilih, selamat membaca.

Saya sering menemukan tulisan tentang perbedaan kimia murni atau kimia sains (MIPA) dengan teknik kimia, semua dibahas oleh beberapa penulis yang sebagian besar latar belakang ilmunya teknik kimia, . Umumnya, analisis yang mereka bahas tidak semua tepat dari kacamata saya sebagai seorang lulusan kimia sains. Bahkan, ada kesan bahwa para pembahas itu mengistimewakan teknik kimia di atas kimia sains. Wajar, karena mereka adalah lulusan teknik kimia. Saya tidak melarang mereka untuk memberi penekanan pada publik dan mempertahankan opini yang telah terbangun selama ini bahwa teknik kimia jauh lebih tinggi strata dan kompetensinya ketimbang kimia sains. Nah kan? Namun saya tidak sepakat, dari kaca mata pribadi (-1.5) maupun dari kaca mata ilmiah.

Sebagai catatan, di dalam kehidupan sehari-hari kita dengan mudah (bahkan sering) mengamati orang yang memiliki latar belakang ilmu teknik kimia menjadi seorang pendidik dan bahkan menjadi seorang “Saintis”. Sebaliknya seorang kimia sains, sering menjadi “Insinyur” di lapangan, khususnya dunia industri. Industri tempat saya bergabung saat ini (2009 – sekarang), saya melihat bidang produksinya dipimpin oleh lulusan kimia sains . Demikian juga dengan bidang pengelolan limbah dipimpin oleh lulusan kimia sains sejak lama. Mengapa demikian?

Jawabannya adalah karena kimia sains jauh lebih baik dari teknik kimia.. Kalau melihat perbedaan kurikulum, argumentasinya dapat dibangun dengan jelas. Dari analisis terhadap kurikulum kimia sains dan kurikulum teknik kimia, kita akan mudah menyimpulkan bahwa kimia sains memang lebih baik dari pada teknik kimia dalam hal keilmuan “KIMIA”.

Mengamati porsi pelajaran kimia di dalam kurikulumnya, teknik kimia hanya sekitar 30-45 % belajar kimia, selebihnya non-kimia. Muatan dominan adalah fisika dan matematika. Itulah sebabnya, di lapangan kerja kimia banyak lulusan teknik kimia yang kewalahan sendiri karena dasar ilmu kimianya sangat rendah (poor). Hendaknya ini juga dipikirkan oleh para pemegang kebijakan di perguruan tinggi teknik kimia. Tidak seperti lulusan kimia sains, memiliki kompetensi “mampu berenang” di antara ruang-ruang unsur dan senyawa hingga tataran atom sekalipun. Bila ada masalah berkaitan proses kimia, seorang lulusan teknik kimia cenderung mengembalikannya ke logika fisika dan logika matematika. Padahal seharusnya dikembalikan ke logika kimia. Penguasaan logika kimia amat sangat tergantung dari kecakapan seseorang di dalam memahami konsep dasar ilmu kimia itu sendiri.

Kemudian, kita harus menyadari bahwa kurikulum teknik kimia menekankan pada operasi lapangan. Artinya, baru betul-betul paham kalau sudah berada di lapangan. Ilmu teknik kimia adalah ilmu lapangan, maka jangan heran kalau ada lulusan sastra Inggris menjadi kepala bidang proses pembuatan bahan kimia, saya melhatnya langsung dan terbukti sukses mengelola dan memimpin setiap tindakan yang berhubunga dengan proses kimia industri. Namun jangan harap seorang lulusan sastra Inggris bisa menjadi kepala bidang penelitian dan pengembangan di bidang proses kimia industri. Hehe, jelas tidak bisa!

Bagaimana dengan kimia sains? Memang benar, ilmu operasi lapangannya sangat minim bahkan untuk beberapa perguruan tinggi tidak mengajarkannya sama sekali kecuali dalam beberapa mata kuliah pilihan berbasis teknologi industri, misal dahulu saya belajar Elektrokimia Industri, Mikrobiologi Industri, Teknologi Enzim, Teknologi Fermentasi, dan mata kuliah lain yang berhubungan dengan teknologi atau industri. Lalu mengapa seorang lulusan kimia sains dapat berhasil di lapangan? Ya, karena namanya juga ilmu lapangan, semakin lama di lapangan maka akan semakin paham. Bila lulusan sastra Inggris saja bisa, apatah lagi lulusan kimia sains, pasti lebih dahsyat. Inilah yang saya buktikan secara langsung berdasarkan pengalaman dari mengamati lulusan kimia sains yang bekerja di lapangan (proses industri kimia).

Seorang lulusan kimia sains memiliki ilmu kimia 99 % sementara lulusan teknik kimia hanya sekitar 30 – 40 % memiliki ilmu kimia, selebihnya berhubungan dengan matematika, fisika, mekanika, dan ekonomi (persentase secara kasar diperoleh dari membandingkan kedua kurikulum bidang ilmu). Bayangkan, bila seorang lulusan kimia sains bekerja di sebuah industri dan ia juga memiliki kemampuan matematika, fisika, dan ekonomi yang baik? Tentu akan lebih baik dari pada lulusan teknik kimia. Tidak berlaku sebaliknya, seorang lulusan teknik kimia akan sulit memperlajari teori kimia pada saat ia sudah berada di lapangan (dunia industri). Membuka buku teks wajib anak kimia sains adalah mustahil karena itu sangat teoritis, meskipun ilmu itu sangat diperlukannya. Jelas dari sini bahwa kompetensi kimia sains mampu mengimbangi teknik kimia. Itulah makanya saat ini teknik kimia tidak dianggap lagi sebagai suatu profesi sebagaimana layaknya profesi insinyur.

Sementara itu di sisi lain banyak juga lulusan kimia sains yang juga kebingungan ketika memasuki lapangan kerja kimia, ia bingung karena bisa diibaratkan seperti katak yang keluar tempurung. Wow, ternyata seperti ini ya kalau bahan kimia meledak! Dooor. Dan akhirnya: “innalillah”. Kurikulum pendidikan tinggi kimia sains cenderung diarahkan ke skala laboratorium tanpa ada penjelasan lebih lanjut tentang perlunya “berada” di luar angkasa. Sebenarnya ini kurang tepat bila anggapan bahwa penempaan kompetensi mahasiswa kimia sains dilakukan di laboratorium. Itu sungguh tidak tepat! Sebab ketika bekerja nanti, lulusan kimia sains akan dihadapkan pada masalah-masalah besar di dalam kehidupan yang mengharuskan mereka berpikir menemukan solusi atas masalah-masalah besar tersebut. Jika sejak lama masih di dalam tempurung, bisa-bisa ketika di dunia kerja akan kaget sekaget-kagetnya, heh.

Pembahasan saya di atas mungkin berlebihan. Ada opini dari pembaca yang menyimpulkan bahwa tulisan ini cenderung ‘merendahkan’ lulusan teknik kimia. Tetapi sebenarnya ini hanya gerakan penangkal opini saja. Di dalam teori kimia, ini hanyalah reaksi saja, bukan aksi. Jika dilihat di dunia maya, amat banyak tulisan yang merupakan kebalikan dari tulisan ini. Saya menyarankan kepada rekan-rekan lulusan teknik kimia agar tidak berkecil hati jika tulisan ini tidak memuliakan mereka. Apa yang saya tulis adalah fakta yang saya temukan langsung di dunia nyata sejak bekerja di dunia industri pada tahun 2009 hingga sekarang, kemudian saya bandingkan diskusikan dengan rekan-rekan lulusan kimia sains di seantero nusantara.
Kesimpulan yang paling mudah diterima adalah dengan mengatakan bahwa seorang saintis kimia (lulusan kimia sains) dan insinyur kimia (lulusan kimia teknik) dapat saling melengkapi. Bahkan tidak boleh ada anggapan bahwa salah satu dari keduanya lebih baik. Saintis kimia dalam banyak kesempatan mampu sukses menjadi insinyur kimia. Demikian juga dengan insinyur kimia dalam banyak kesempatan mampu sukses menjadi seorang saintis. Ini berbeda dengan profesi lain seperti di dalam bidang kesehatan ada dokter, apoteker, dan perawat, meskipun pekerjaaannya saling melengkapi tetapi tidak boleh saling menggantikan karena ada peraturan ketat yang mengaturnya. Kalau di antara teknik kimia, kimia sains, ataupun pendidik (guru) kimia secara terbukti saling melengkapi dan dapat saling menggantikan, sebab tidak ada aturan untuk itu. So, jangan merasa dan berpikir saya lebih baik dari keahlian kimia lain.

Sejarah telah bicara bahwa ada tumpang tindih antara “profesi” kimia sains (saintis) dengan “profesi” teknik kimia (insinyur). Kita dapat melihat di sekitar kita bahwa saintis juga mampu bekerja mendesain berbagai peralatan kimia dan mengoptimalisasi prosesnya, pada saat bersamaan seorang insinyur juga mampu melakukan penemuan-penemuan menakjubkan di dalam bidang kimia. Kita mengetahui bahwa ada kepala pabrik yang berasal dari saintis kimia dan ada kepala balai penelitian ilmu dasar yang dipimpin oleh insinyur kimia. Dan ini semua terbukti, karena perjalanan waktu telah berbicara. Hanya saja, perlu kita tanyakan diri sendiri, kita adalah saintis kimia atau insinyur kimia atau separuh dari itu? Hee.


0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2014 Chemistry Life