Sabtu, 07 September 2013

Indonesia 2045

Seperti apa sosok Indonesia pada 2045, saat berusia seabad nanti? Dalam ceramahnya, Gita Wirjawan, yang kini menjabat sebagai Menteri Perdagangan RI, mengatakan bahwa, pada milenium pertama leluhur kita bisa membangun Candi Borobudur yang merupakan candi terbesar di dunia, dan pada milenium kedua Kerajaan Majapahit merupakan pelaku penting dalam percaturan dunia (http://www.youtube.com/watch?v=6PTuPnKTeSQ). Memasuki milenium ketiga, apa yang bisa diperbuat Indonesia? Apakah Indonesia akan dilirik negara lain hanya sebagai negara yang kaya sumber daya alam untuk dieksploitasi, atau sebagai negara berpenduduk banyak dan merupakan pasar potensial bagi produk-produk mereka?
Dalam dokumen Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang disusun oleh Menko Perekonomian, dicanangkan bahwa pada 2025 Indonesia menjadi negara mandiri, maju, adil, dan makmur berpendapatan per kapita sekitar 15.000 dollar AS. Saat itu, Indonesia diharapkan menjadi kekuatan ekonomi 12 besar dunia. Lebih jauh, pada 2045 Indonesia diproyeksikan menjadi satu dari tujuh kekuatan ekonomi di dunia dengan pendapatan per kapita 47.000 dollar AS! Namun, yang dimaksud negara maju dalam dokumen MP3EI adalah negara yang pertumbuhan ekonominya positif dan tingkat inflasinya menurun. Apakah masyarakat dan kehidupannya juga maju atau beradab sama sekali tidak disinggung sama sekali.
Salah satu argumen yang digunakan dalam perumusan MP3EI itu adalah statistik penduduk kita. Konon dalam kurun 2015-2045 piramida penduduk Indonesia akan sangat ideal dengan penduduk mayoritas berusia 25-45 tahun, usia produktif. Indonesia saat itu akan menikmati apa yang disebut jendela demografi. Masalahnya, seperti apa kualitas mereka, penduduk usia produktif itu, kelak? Sebagai ilustrasi, memasuki AFTA 2016, para insinyur perlu mengantongi sertifikasi untuk dapat melaksanakan tugas keinsinyurannya di wilayah Asia. Berapa banyak insinyur kita yang telah tersertifikasi saat ini? Tidak lebih dari 100 orang! Pada saat yang sama, jumlah insinyur Singapura yang telah tersertifikasi mencapai ribuan. Dalam situasi seperti ini, para insinyur kita hanya akan menjadi operator atau asisten insinyur asing yang kelak beroperasi di Indonesia. Jadi, bila demikian, pembangunan oleh siapa dan untuk siapa?
Kita tentu tak ingin jadi pembantu di rumah sendiri. Namun, kita lihat banyak kasus yang terjadi saat ini di negara kita (perpajakan, politik uang, permainan APBN, dan lain-lain) dengan pelakunya masih berusia 30-45 tahun. Kita bertanya, dapatkah kita mengelola negara sendiri? Kita juga menyaksikan masyarakat kita yang suka menerabas, tidak peduli lingkungan, bekerja asal-asalan, berpikir jangka pendek, dan seterusnya. Pendidikan macam apa yang mereka dapat sebelumnya? Singkat kata, di era kehidupan modern ini, intelektualitas dan budaya masyarakat kita masih terbelakang. Bila kita ingin jadi negara maju dan beradab, banyak pekerjaan rumah yang perlu kita garap, terutama mencerdaskan kehidupan bangsa — yang hingga kini belum terwujud. Kuncinya adalah pendidikan, pendidikan, dan pendidikan! Bila kita tak menggarapnya dengan baik, kita akan tenggelam—bukan sekadar tertinggal!
Di harian Kompas, 20 Januari 2013, Jusuf Kalla di hadapan Forum Rektor menyatakan, “Indonesia bangsa yang besar dan memiliki kekayaan luar biasa. Bangsa ini lambat kemajuannya bukan karena sistemnya. Negara boleh berbeda atau sama sistemnya, tetapi yang paling penting (adalah) soal kepemimpinan. Ketika pemimpin bangsa ini bertekad memerangi korupsi, mestinya dia menjadi teladan. Memberikan sumbangan atau melahirkan pemimpin yang memiliki teladan itulah tugas perguruan tinggi supaya Indonesia menjadi bangsa yang besar.” Teringat masa mahasiswa, senior saya mengatakan, ”A leader is one who knows the way, shows the way, and goes the way.” Pertanyaannya, dari mana pemimpin seperti itu kita dapat? Pemimpin panutan mestinya dibesarkan, bila tak dilahirkan, di perguruan tinggi. Jadi, perguruan tinggi memainkan peran penting bagi bangsa dalam mendidik calon pemimpin bangsa, dari presiden hingga kepala rumah tangga.
Kontribusi perguruan tinggi yang dominan selama ini memang alumni yang menggerakkan bangsa ini, khususnya dalam ekonomi dan politik. Namun, kualitas dan kiprah mereka belum memadai menjadikan Indonesia maju dan beradab. Saat ini terdapat 3.200 lebih perguruan tinggi di Indonesia. Namun, tak lebih dari 20 perguruan tinggi yang berkualitas. Bahkan, 20 perguruan tinggi terbaik kita pun masih tertinggal dari sejumlah perguruan tinggi di negeri tetangga, khususnya dalam pengembangan iptek yang jadi faktor penting pembangunan ekonomi saat ini dan ke depan. Bila demikian halnya, bagaimanakah Indonesia bisa tetap eksis dan bersaing di masa mendatang? Di era pengetahuan dewasa ini, hanya bangsa yang menguasai iptek dan memiliki budaya yang tangguhlah yang dapat bersaing dan menjadi bangsa besar dengan peradaban maju.
Indonesia 2045 masih 32 tahun lagi, so what? Saat itu, sebagian dari kita, khususnya yang berusia separuh baya, mungkin sudah tiada. Namun, sesungguhnya, Indonesia 2045 ada di depan mata kita sekarang! Anak-anak berusia balita hingga remaja tersebar di sekitar kita. Ada yang sedang belajar, ada yang asyik bermain, ada pula yang mengamen di perempatan jalan. Merekalah yang akan memimpin bangsa ini kelak di berbagai lini! Indonesia 2045 ada di depan mata, jangan disia-siakan! Pendidikan di sekolah, rumah, dan di luar rumah akan sangat menentukan. Peran kita semua diperlukan mendidik dan mengarahkan mereka guna mewujudkan Indonesia 2045 yang kita idamkan. Nasib Indonesia di awal milenium ketiga ditentukan oleh anak-anak kita, dan kita semua turut bertanggung-jawab menyiapkannya! ●

H. Gunawan, 28-01-2013
Tulisan ini dimuat di harian Kompas, 05-03-2013

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2014 Chemistry Life